Jumat, 07 Januari 2011

Taeniasis/sistisekosis di tinjau dari kesmavet

PENDAHULUAN

Latar belakang
            Penyakit yang di sebabkan oleh cacing sering kali dianggap masalah biasa,  Sebenarnya hal ini sangat beralasan karena pada umumnya penyakit ini bersifat kronis sehingga secara klinis tidak tampak begitu nyata. Karakteristik fisik wilayah tropik seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan masyarakatnya (Edmundson & Edmundson 1992). Sedangkan infeksi oleh cacing pita kebanyakan disebabkan oleh cacing pita babi dan cacing pita sapi yang terjadi pada daerah-daerah tertentu dengan kekhasan tipe budaya masyarakatnya antara lain pulau Samosir, pulau Bali serta daerah migrannya di Lampung, dan Papua (Irian Jaya). Dalam hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa keeratan hubungan antara manusia dan ternak/hewan kesayangan baik dalam bentuk rantai makanan maupun hubungan sosial dapat mempertahankan kejadian penyakit yang bersifat zoonosis  Margono, (1989).
            Proses penularan penyakit parasit dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya, merupakan peristiwa yang lebih rumit dibandingkan dengan proses penularan yang disebabkan mikroorganisme lainnya.  Oleh karena itu, dalam usaha pengendalian penyakit zoonosis parasit, pengetahuan mengenai habitat untuk masing-masing fase infeksi dan perkembangannya perlu diketahui dengan baik.  Selain itu, untuk mengoptimalkan pengendalian, tentunya pengetahuan mengenai parasitnya sendiri harus dikuasai pula (Yudhie, 2009). Taeniasis adalah infestasi cacing pita Taenia sp. berasal dari sapi atau babi pada manusia. Manusia merupakan induk semang definitife atau induk semang akhir (final host) cacing pita pada sapi. Sedangkan cacing pita pada babi, manusia bertindak sebagai induk semang antara (intermediate host) dan juga induk semang definitife Subahar,. dkk. 2005.
           
            Penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Taeniasis dan sistiserkosis adalah satu contoh zoonosis berbahaya pada manusia yang disebabkan oleh infeksi cacing pita dewasa maupun larvanya. Penyakit ini kurang dikenal oleh masyarakat luas yang lebih mengenal anthrax atau Bovine Septicemia Epizootica (sapi gila). Untuk kepentingan kesehatan masyarakat veteriner kiranya perlu memberikan pengetahuan praktis kepada masyarakat tentang penyakit yang bersifat zoonosis, yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kesehatan individu / keluarga serta lingkungannya (Yudhie, 2009). Sesuai dengan pernyataan Soejoedono (2004) bahwa peningkatan konsumsi bahan pangan asal hewan perlu dibarengi dengan peningkatan jaminan keamanan pangan asal hewan yang merupakan salah satu tugas dan fungsi kesmavet. Kesmavet menurut Undang Undang no 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Tugas dan fungsi Kesmavet secara garis besar adalah menjamin keamanan dan kualitas produk-produk peternakan, serta mencegah terjadinya risiko bahaya akibat penyakit hewan / zoonosis dalam rangka menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
            Ada beberapa kasus infeksi cacing pita Taenia di Indonesia diantaranya yang tertinggi terjadi di Provinsi Papua Jayawijaya ditemukan 66,3% (106 orang dari 160 responden) positif menderita taeniasis solium/ sistiserkosis selulosae dari babi sementara 28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang dapat dilihat dan diraba benjolannya di bawah kulit. Sebanyak 18,6% (30 orang) di antaranya adalah penderita sistiserkosis selulosae yang menunjukkan gejala epilepsi. Dari 257 pasien yang menderita luka bakar di Papua, sebanyak 82,8% menderita epilepsi akibat adanya sistiserkosis pada otak, selanjutnya prevalensi sistiserkosis pada manusia berdasarkan pemeriksaan serologis pada masyarakat Bali yaitu 5,2% sampai 21%, sedangkan prevalensi taeniasis di provinsi yang sama berkisar antara 0,4%-23%. Sebanyak 13,5% (10 dari 74 orang) pasien yang mengalami epilepsi di Bali didiagnosa menderita sistiserkosis di otak. Prevalensi taeniasis T. asiatica di Sumatera Utara berkisar 1,9%-20,7%. Kasus T. asiatica di Provinsi ini umumnya disebabkan oleh konsumsi daging babi hutan maupun daging anjing yang dimasak  setengah matang (Anonimus, 2010).  
            Manusia terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau babi yang setengah matang yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia. Dalam hal ini juga dapat terjadi melalui proses infeksi sendiri oleh individu penderita melalui pengeluaran dan penelanan kembali makanan. Sesuai dengan pernyataan (Roday, 1999) bahwa penyakit hewan dapat ditularkan melalui produk hewan ke manusia atau dikenal sebagai foodborne zoonotic disease atau zoonosis. Foodborne zoonotic disease didefinisikan sebagai infeksi pada manusia yang ditularkan melalui pangan yang sumbernya dari hewan yang terinfeksi. Beberapa penyakit ini sudah dikenal lama seperti antraks yang ditularkan melalui daging sapi, kambing, domba, kerbau; sistiserkosis/ taeniasis yang ditularkan melalui daging babi.
            Dengan demikian melalui studi literatur ini penulis ingin memperdalam pendidikan dibidang kesehatan masyarakat veteriner agar kelak dapat bermanfaat bagi masyarakat.

           

 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Etiologi
                      Taeniasis adalah infeksi oleh cacing pita genus Taenia di dalam usus Taeniasis dan cysticercosis adalah satu penyakit zoonosis berbahaya pada manusia yang disebabkan oleh infeksi cacing pita dewasa maupun larvanya. Sistiserkosis yang disebabkan oleh larva atau metasestoda T. solium merupakan salah satu zoonosis yang dapat memberikan gejala-gejala berat khususnya bila larva terdapat pada otak atau mata Craig et al. 1996; Raether & Hanel (2003). 
                      Jenis cacing pita yang umum menginfeksi manusia di dunia adalah Taenia, Echinococcus, Diphyllobothrium, Hymenolepis, dan Dipylidium (Craig et al. 1996; Raether & Hanel 2003). Namun yang bersifat obligatory-cyclozoonoses adalah Taenia saginata, T. solium, dan T. saginata taiwanensis, karena hanya manusia sebagai inang definitif yang dapat terinfeksi cacing dewasa. Sedangkan cacing yang lain inang definitif utamanya adalah karnivora. Tentu saja yang bertindak sebagai inang antara (infeksi larva) adalah hewan ternak, kesayangan, bahkan hewan liar yang erat berhubungan dengan kehidupan manusia baik dalam rantai makanan maupun kontak dengan lingkungan mereka.
Ø Taenia saginata (cacing pita daging sapi) : Cacing dewasa dapat ditemukan dalam usus manusia penderita taeniasis, berbentuk pipih panjang seperti pita dan tubuhnya beruas-ruas (segmen). Panjangnya rata-rata 5m bahkan bisa mencapai 25m yang terdiri atas lebih dari 1000 segmen (Pawlowski & Schultz 1972; Soulsby 1982; Smyth 2004). Cacing ini memiliki kepala yang disebut scolex, berdiameter 2mm menempel pada permukaan selaput lendir usus manusia. Ketika mencapai stadium dewasa, lebih dari separuh segmennya telah mengandung telur, namun hanya beberapa puluh segmen yang mengandung telur matang disebut segmen gravid. Segmen gravid kurang lebih mengandung 800.000 telur pada setiap segmen (Soulsby, 1982). Berbeda dengan T. solium, segmen gravid T. saginata spontan keluar dari anus penderita secara aktif, kadang-kadang keluar bersama tinja ketika defekasi. Apabila telur yang bebas dari segmen gravid tersebut mencemari lingkungan pakan ternak sapi/kerbau, telur yang tertelan ternak menetas dalam ususnya. Embrio (oncosphere) cacing menembus dinding usus kemudian bermigrasi ke seluruh bagian tubuh melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Selama migrasi oncosphere mengalami perkembangan sampai tiba pada habitat yang cocok tumbuh menjadi larva setelah 2-3 bulan. Larva ini juga disebut metacestoda atau lebih dikenal sebagai cacing gelembung yang berukuran (4-5)mm x (7.5-10)mm. Larva yang menyerupai balon kecil yang berisi cairan ini disebut Cysticercus bovis dapat ditemukan dalam jaringan otot/organ tubuh sapi/kerbau. Habitat utamanya adalah otot lidah, otot pengunyah, diafragma, jantung (Urquhart et al. 1987), namun dengan infeksi percobaan (T. saginata strain Bali) cysticercus tersebar ke seluruh otot sapi coba (Dharmawan 1995). Di dalam tubuh sapi cysticercus dapat bertahan hidup selama beberapa tahun. Manusia yang mengonsumsi daging sapi yang mengandung cysticercus hidup selanjutnya berkembang menjadi T. saginata dalam ususnya.
Ø Taenia solium (cacing pita daging babi) : Cacing ini disebut juga cacing pita daging babi karena hewan babi bertindak sebagai inang antaranya yang mengandung larvanya. Ukuran cacing dewasa relatif lebih pendek dibandingkan dengan T. saginata yaitu antara 2-8m (Noble & Noble 1982; Soulsby 1982). Setiap individu cacing dewasa terdiri atas 800-900 segmen (Cheng 1986) hingga 1000 segmen (Soulsby 1982; Noble & Noble 1982). Berbeda dengan scolex T. saginata, selain diameternya lebih kecil yaitu 1mm dilengkapi dengan 2 baris kait di sekeliling rostellumnya. Mungkin karena ukurannya lebih kecil, setiap segmen gravidnya mengandung 4000 telur. Segmen gravid T. solium dikeluarkan bersama-sama tinja penderita taeniasis solium. Siklus hidup T. solium secara umum memiliki pola yang sama dengan Taenia yang lain, yang membedakan adalah inang antaranya yaitu babi. Namun menurut beberapa penulis pernah dilaporkan bahwa mamalia piaraan lainnya dapat juga sebagai inang antaranya (Ito et al. 2002). Babi adalah hewan omnivora termasuk makan tinja manusia, oleh karena itu sering ditemui beberapa ekor babi menderita cysticercosis berat, sehingga sekali menyayat sepotong daging tampak ratusan Cysticercus cellulosae (Noble & Noble 1982). Larva ini mudah ditemukan dalam jaringan otot melintang tubuh babi. Celakanya telur T. solium juga menetas dalam usus manusia sehingga manusia dapat bertindak sebagai inang antara walaupun secara kebetulan (Townes 2004; Wandra et al. 2003). Pada tubuh manusia penderita cysticercosis, larva cacing (Cysticercus cellulosae) dapat ditemukan dalam jaringan otak besar maupun kecil, selaput otak, jantung, mata, dan di bawah kulit (Noble & Noble 1982; Simanjuntak et al 1997; Wandra et al. 2003). Penularan dapat terjadi secara langsung karena menelan telur cacing yang mengontaminasi makanan atau minuman. Tetapi yang sering terjadi adalah autoinfeksi melalui tangan yang kurang bersih/setelah menggaruk-garuk bagian. tubuh yang terkontaminasi telur cacing atau secara internal yang diakibatkan oleh refleks muntah pada penderita taeniasis.
Ø Taenia saginata taiwannesis (cacing pita daging babi) : Secara morfologis cacing ini sangat mirip dengan T. saginata, memiliki nama lain T. asiatica ( Eom & Rim 1993 Didalam : Dharmawan 1995 ). Keberadaan cacing ini di Indonesia relatif baru dideskripsikan dari penderita di Sumatra Utara ( Fan et al. 1989; Dharmawan 1995 ). Pada prinsipnya siklus hidup Taenia saginata taiwanensis tidak berbeda dengan siklius hidup taenia lain yang menyerang manusia. Namun yang menjadi perhatian adalah sistiserkusnya hanya ditemukan dalam organ hati babi sebagai inang antara walaupun secara eksperimental juga berkembang dalam tubuh sapi ( Dharmawan, 1995 ).


Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Taenia
Ø      Taenia crassiceps
Ø      Taenia pisiformis
Ø      Taenia saginata
Ø      Taenia solium
Ø      Taenia asiatica
Ø      Taenia taeniaeformis
Taenia solium
Taenia saginata
Gambar .1. Perbedaan dua spesies Tenia sp.

 

Siklus Hidup

Gambar 2. Siklus hidup Cacing Pita
            Cacing pita Taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan induk semang definitif. Segmen tubuh Taenia yang telah matang dan mengandung telur keluar secara aktif dari anus manusia atau secara pasif bersama-sama feses manusia. Bila inang definitif (manusia) maupun inang antara (sapi dan babi) menelan telur maka telur yang menetas akan mengeluarkan embrio (onchosphere) yang kemudian menembus dinding usus. Embrio cacing yang mengikuti sirkulasi darah limfe berangsur-angsur berkembang menjadi sistiserkosis yang infektif di dalam otot tertentu. Otot yang paling sering terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma, lidah, otot pengunyah, daerah esofagus, leher dan otot antar tulang rusuk  Anonimus, (2010).  

Gejala klinis
1. Taeniasis
            Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan tidak patognomosnis (khas). Sebagian kasus tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). gejala klinis dapat timbul sebagai akibat iritasi mukosa usus atau toksin yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara lain rasa tidak enak pada lambung , nausea (mual), badan lemah, berat badan menurun, nafsu makan menurun, sakit kepala, konstipasi (sukar buang air besar), pusing, diare, dan pruiritus ani (gatal pada lubang pelepasan). Pada pemeriksaan darah tepi (hitung jenis) terjadi peningkatan eosinofil (eosinofilia) Gejala klinis taeniasis solium hampir tidak dapat dibedakan dari gejala klinis taeniasis saginata. Secara psikologis penderita dapat merasa cemas karena adanya segmen/ proglotid pada tinja dan pada Taenia saginata segmen dapat lepas dan bergerak menuju sphincter anal yang merupakan gerakan spontan dari segmen. Segmen/Proglotid ini dikenal dengan istilah ampas nangka (bali), banasan (toraja), dan manisan (Sumatera Utara).

2. Sisterkosis
            Gejala klinis yang timbul tergantung dan letak jumlah, umur, dan lokasi dari kista. Sebagian besar penderita tidak menunjukkan gejala atau dapat ditemukan adanya nodul subkutan. Sistiserkosis serebri sering menimbulkan gejala epilepsi atau gejala tekanan intrakranial meninggi dengan sakit kepala dan muntah yang menyerupai gejala tumor otak. Pada kasus yang berlangsung lama dapat dijumpai bintik kallsifikasi dalam otak.

Patogenesis
            Cara infeksinya melalui oral karena memakan daging babi atau sapi yang mentah atau setengah matang dan mengandung larva cysticercus. Di dalam usus halus, larva itu menjadi dewasa dan dapat menyebabkan gejala gasterointestinal seperti rasa mual, nyeri di daerah epigastrium, napsu makan menurun atau meningkat, diare atau kadang-kadang konstipasi. Selain itu, gizi penderita bisa menjadi buruk se-hingga terjadi anemia, malnutrisi. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi, yaitu apabila proglotid menyasar masuk apendiks, atau terdapat ileus yang disebabkan obstruksi usus oleh strobilla cacing. Berat badan tidak jelas menurun (Anonimus, 2010). Menurut Symons (1989) jumlah cacing pita dalam usus kurang berpengaruh terhadap perubahan patologis dibandingkan dengan ukuran tubuh cacing. Walaupun hanya terdapat 1-2 ekor dan ukurannya besar dampak patologisnya lebih nyata. Penderita taeniasis jarang menunjukkan gejala yang khas walaupun di dalam ususnya terdapat cacing taenia selama bertahun-tahun, tetapi biasanya hanya terdapat satu ekor. cysticercosis pada manusia sangat bergantung pada organ serta jumlah cysticercus yang tinggal. Infeksi berat pada otot menyebabkan peradangan (myocitis) yang bisanya menimbulkan demam. Jika menyerang organ mata (Ocular- Cysticercosis) gejala yang paling berat adalah kebutaan (Smyth, 2004). Gejala-gejala syaraf seperti kelumpuhan, kejang, hingga epilepsi, dapat dipastikan bahwa larva tersebut menempati organ-organ yang sarat dengan jaringan syaraf seperti otak/selaput otak atau sumsum tulang belakang.
Diagnosis
            Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan ditemukannya cacing di dalam feses. Sepotong selotip ditempelkan di sekeliling lubang dubur, lalu dilepas dan ditempelkan pada sebuah kaca obyek dan diperiksa dibawah mikroskop untuk melihat adanya telur parasit. Melalui mikroskop memeriksa sampel feses apakah ada telur cacing parasit, ookista protozoa dan takizoit Anonimus, (2010). Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis: penderita pernah mengeluarkan benda pipih berwarna putih seperti “ampas nangka” bersama tinja atau keluar sendiri dan bergerak-gerak. Benda itu tiada lain adalah potongan cacing pita (proglotid). Cara keluarnya proglotid Taenia solium berbeda dengan Taenia saginata. Proglotid Taenia solium biasanya keluar bersama tinja dalam bentuk rangkaian 5–6 segmen. Sedangkan Taenia saginata, proglotidnya keluar satu-satu bersama tinja dan bahkan dapat bergerak sendiri secara aktif hingga keluar secara spontan Anonimus (2010).

Pemeriksaan laboratorium
            Secara makroskopis (melihat tanpa menggunakan alat), yang diperhatikan dalam hal ini adalah bentuk proglotidnya yang keluar bersama tinja. Bentuknya cukup khas, yaitu segi empat panjang pipih dan berwarna putih keabu-abuan.
            Pemeriksaan secara mikroskopis untuk mendeteksi telurnya dapat dikerjakan dengan preparat tinja langsung (directsmear) memakai larutan eosin. Cara ini paling mudah dan murah, tetapi derajat positivitasnya rendah. Untuk mendapatkan hasil positivitas yang lebih tinggi, pemeriksaan dikerjakan dengan metoda konsentras (centrifugal flotation) atau dengan cara perianal swab memakai cellophane tape (Anonimus, 2010).
            Jika hanya menemukan telur dalam feses, tidak bisa dibedakan Taenia solium dan Taenia saginata. Agar dapat membedakannya, perlu mengadakan pemeriksaan scolex dan proglotid gravidnya. Scolex dan proglotid gravid dibuat preparat permanen diwarnai dengan borax carmine atau trichrome, kemudian dilihat di bawah mikroskop. Dengan memperhatikan adanya kait-kait (hooklet) pada scolex dan jumlah percabangan lateral uterusnya, maka dapat dibedakan spesies Taenia solium dan Taenia saginata. Pada scolex Taenia solium terdapat rostellum dan hooklet, sedangkan pada Taenia saginata tidak terdapat. Percabangan lateral uterus Taenia solium jumlahnya 7–12 buah pada satu sisi, dan Taenia saginata 15-30 buah. Ada cara yang lebih sederhana untuk memeriksa proglotid gravid, yaitu dengan memasukkan proglotid itu ke dalam larutan carbolxylol 75%. Dalam waktu satu jam, proglotid menjadi jernih dan percabangan uterusnya tampak jelas. Cara lainnya yang paling sederhana dan gampang dikerjakan ialah dengan menjepitkan proglotid yang masih segar di antara dua objek gelas secara pelan dan hati-hati. Proglotid akan tampak jernih dan percabangan uterusnya yang penuh berisi telur tampak keruh. Pemeriksaan bisa gagal apabila percabangan uterusnya robek dan semua telurnya keluar Anonimus, 2010.

Epidemiologi                                                                                                     Penyebaran di Dunia
            Penyakit Taenia, sp. tersebar secara luas di seluruh dunia. Penyebaran Taenia,sp. dan kasus infeksi akibat Taenia tersebut lebih banyak terjadi di daerah tropis hal ini karena daerah tropis memiliki curah hujan yang tinggi dan iklim yang sesuai untuk perkembangan parasit ini. Taeniasis dan sistiserkosis akibat infeksi cacing pita babi Taenia solium merupakan salah satu zoonosis di daerah yang penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi dan tingkat sanitasi lingkungannya masih rendah, seperti di Asia Tenggara, India, Afrika Selatan, dan Amerika Latin. Adapun kasus infeksi cacing pita Taenia di negara tropis dapat dilihat pada Tabel 1.




Tabel 1. Kasus Infeksi Cacing Pita Taenia di Negara Tropis
Negara
Kasus
1.661 orang penderita taeniasis.
0,1-0,9 % kejadian sistiserkosis pada manusia.
5,9% dari 1450 orang positif taeniasis.
Taeniasis/sistiserkosis terutama ditemukan di Papua, Bali dan Sumatera Utara. Selain itu ditemukan di NTT, Lampung, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan Jawa Timur.
Kejadian taeniasis mencapai 14%
           
Salah satu bukti lebih luasnya penyebaran Taenia di daerah tropis yaitu ditemukannya spesies ketiga penyebab taeniasis pada manusia di beberapa negara Asia yang dikenal dengan sebutan Taiwan Taenia atau Asian Taenia. Asian Taenia dilaporkan telah ditemukan di negara-negara Asia yang umumnya beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Korea dan Cina. Kini Asian Taenia disebut Taenia asiatica. Kejadian T. asiatica yang tinggi terutama ditemukan di Pulau Samosir, Indonesia. Sistiserkosis merupakan infeksi yang sering ditemukan pada babi dan manusia terutama di negara berkembang. Penularan sistiserkosis pada manusia dipengaruhi antara lain oleh kontak antara babi dan feses manusia, tidak adanya pemeriksaan kesehatan daging saat penyembelihan, dan konsumsi daging mentah atau setengah matang. Penyebaran penyakit ini luas karena Taenia dapat memproduksi puluhan bahkan ratusan ribu telur setiap hari yang dapat disebar oleh air hujan ke lingkungan bahkan pada lokasi yang jauh dari tempat pelepasan telur (Anonimus,2010).

Penyebaran di Indonesia
            Infeksi cacing pita Taenia tertinggi di Indonesia terjadi di Provinsi Papua. Di Kabupaten Jayawijaya Papua, Indonesia ditemukan 66,3% (106 orang dari 160 responden) positif menderita taeniasis solium/ sistiserkosis selulosae dari babi, sementara 28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang dapat dilihat dan diraba benjolannya di bawah kulit. Sebanyak 18,6% (30 orang) di antaranya adalah penderita sistiserkosis selulosae yang menunjukkan gejala epilepsi. Dari 257 pasien yang menderita luka bakar di Papua, sebanyak 82,8% menderita epilepsi akibat adanya sistiserkosis pada otak (Anonimus, 2010).
            Prevalensi sistiserkosis pada manusia berdasarkan pemeriksaan serologis pada masyarakat Bali sangat tinggi yaitu 5,2% sampai 21%, sedangkan prevalensi taeniasis di provinsi yang sama berkisar antara 0,4%-23%. Sebanyak 13,5% (10 dari 74 orang) pasien yang mengalami epilepsi di Bali didiagnosa menderita sistiserkosis di otak. Prevalensi Taeniasis, T. asiatica di Sumatera Utara berkisar 1,9%-20,7%. Kasus T. asiatica di Provinsi ini umumnya disebabkan oleh konsumsi daging babi hutan setengah matang (Anonimus,2010).
Text Box: Sumatera utaraText Box: Nusa TenggaraText Box: Irian jayaText Box: Timor Text Box: Bali Text Box: Lampung Peta penyebaran Taenia solium di Indonasia
Gambar.3. Daerah taeniasis di Indonesia (Depkes R.I., 2006).

Pencegahan
Ø      Usaha untuk menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita taenasis
Ø      Pemakaian jamban keluarga ,sehingga tinja manusia tidak dimakan oleh babi dan tidak mencemari tanah atau rumput.
Ø      Pemelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran
Ø      Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di RPH, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor dengan dinas Peternakan)
Ø      Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam daging, hal ini penting khususnya di daerah yang banyak memotong babi untuk upacara-upacara adat seperti Sumatera Utara, Bali dan Irian jaya.
Ø      Menghilanglkan kebiasaan maka makanan yang mengandung daging setengah matang atau mentah.
            Memasak daging sampai matang ( diatas 57 º C dalam waktu cukup lama ) atau membekukan dibawah 10º selama 5 hari . Pendekatan ini ada yang dapat diterima ,tetapi dapat pula tidak berjalan , karena perubahan yang bertentangan dengan adat istiadat setempat akan mengalami hambatan. Untuk itu kebijaksanaan yang diambil dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut Anonimus, (2009).

Cara Pengendalian Taenia, sp.
            Pengendalian cacing pita Taenia, sp. dapat dilakukan dengan memutuskan siklus hidupnya. Pemutusan siklus hidup cacing Taenia sebagai agen penyebab penyakit dapat dilakukan melalui pengobatan terhadap penderita yang terinfeksi. Beberapa obat cacing yang dapat digunakan yaitu Atabrin, Librax dan Niclosamide dan Praziquantel. Sedangkan untuk mengobati sistiserkosis dapat digunakan Albendazole dan Dexamethasone. Untuk mengurangi kemungkinan infeksi oleh Taenia ke manusia maupun hewan diperlukan peningkatan daya tahan tubuh inang. Hal ini dapat dilakukan melalui vaksinasi pada ternak, terutama babi di daerah endemis taeniasis/ sistiserkosis serta peningkatan kualitas dan kecukupan gizi pada manusia (Anonimus, 2009).                                                                                                                
            Lingkungan yang bersih sangat diperlukan untuk memutuskan siklus hidup Taenia karena lingkungan yang kotor menjadi sumber penyebaran penyakit. Pelepasan telur Taenia dalam feses ke lingkungan menjadi sumber penyebaran taeniasis/sistiserkosis. Faktor risiko utama transmisi telur Taenia ke babi yaitu pemeliharaan babi secara ekstensif, defekasi manusia di dekat pemeliharaan babi sehingga babi memakan feses manusia dan pemeliharaan babi dekat dengan manusia. Hal yang sama juga berlaku pada transmisi telur Taenia ke sapi. Telur cacing ini dapat terbawa oleh air ke tempat-tempat lembab sehingga telur cacing lebih lama bertahan hidup dan penyebarannya semakin luas Anonimus, (2009).                                                                                                               
            Kontrol penyakit akibat Taenia di lingkungan dapat dilakukan melalui peningkatan sarana sanitasi, pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi, pencegahan kontaminasi tanah dan tinja pada makanan dan minuman. Pembangunan sarana sanitasi, misalnya kakus dan septic tank, serta penyediaan sumber air bersih sangat diperlukan. Pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi dapat dilakukan melalui pemusatan pemotongan ternak di rumah potong hewan (RPH) yang diawasi oleh dokter hewan Rotinsulu DA.(2008).
Pengobatan
1. Pengobatan Taeniasis penderita Taeniasis diobati ( secara massal ) dengan Praziquantel , Dosis 100 mg / kg , dosis tunggal. Cara pemberian obat praziquantel adalah sebagai berikut:
Ø      Satu hari sebelum pemberian obat cacing, penderita dianjurkan untuk makan         makanan yang lunak tanpa minyak dan serat.
Ø      Malam harinya setelah makan malam penderita menjalani puasa
Ø      Keesokan harinya dalam keadaan perut kosong penderita diberi obat cacing. Dua sampai dua setengah jam kemudian diberikan garam Inggris ( MgS O4 ), 30 gram untuk dewasa dan 15 gram atau 7,5 gram untuk anak anak, sesuai dengan umur, yang dilarutkan dalam sirop ( pemberian sekaligus ).
Ø      Penderita tidak boleh makan sampai buang air besar yang pertama. Setelah buang air besar , penderita diberi makan bubur, d) Sebagian kecil tinja dari buang air besar pertama dikumpulkan dalam botol yang berisi formalin 5-10 % untuk pemeriksaan telur Taenia sp. Tinja dari buang air besar pertama dan berikutnya selama 24 jam ditampung dalam baskom plastik dan disiram dengan air panas/ mendidih supaya cacingnya relaks. Kemudian diayak dan disaring untuk mendapatkan proglotid dan skoleks Taenia sp.
Ø      Proglotid dan skoleks dikumpulkan dan disimpan dalam botol yang berisi alkohol 70 % untuk pemeriksaan morfologi yang sangat penting dalam identifikasi spesies cacing pita tersebut
 Pengobatan taeniasis dinyatakan berhasil bila skoleks taenia sp dapat ditemukan utuh bersama proglotid (Anonimus, 2009).
2. Pengobatan sistiserkosis
Ø      Praziquantel dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, dosis tunggal /dibagi 3 dosis per oral selama 15 hari, atau
Ø      Albendazole 15 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dibagi 3 dosis per oral selama 7 hari Untuk pengobatan dengan praziquantel maupun albendazole,reaksi dari tubuh             dapat dikurangidengan memberikan kortikosteroid (prednison 1mg/kg BB/hari dosis tunggal/dibagi 3 dosis atau dexamethasone dengan dosis yang setara dengan prednison). Pemberian praziquantel maupun albendasole harus dibawah pengawasan petugas kesehatan atau dilakukan dirumah sakit.
 Penderita /tersangka neurosistiserkosis dirujuk ke rumah sakit pengobatan penderita neurosistiserkosis rumah sakit adalah sebagai berikut :
Ø      Preziquantael dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dibagi 3 dosis, diberikan per oral selama 15 hari, atau
Ø      Albendazole 15 mg/kg BB/hari, dosis tunggal/dibagi 3 dosis, per oral selama 30 hari.
            Untuk mengurangi reaksi dari tubuh diberikan dexamethasone (atau prednison dengan dosis yang setara dengan dexamethasone) selama 45 hari , diturunkan bertahap : 15 hari pertama diberikan 3x5 mg/hari, per 0ral, 15 hari kedua diberikan 2x5 mg/hari, per 0ral dan 15 hari ketiga diberikan 1x5 mg/hari, per oral

Follow up penderita
1. Follow up penderita Taeniasis
Untuk mengetahui keberhasilan pengobatan pemeriksaan tinja dilakukan pada bulan ke tiga dari bulan keenam ( hari ke 90 dan hari ke 180 ) pasca pengobatan , dengan tidak ditemukannya telur cacing taenia sp. dan prologtidnya ( termasuk anamnesis ), pengobatan dinyatakan berhasil bila ditemukan telur cacing taenia sp, dan atau prologtidnya (termasuk anamnesis) pada hari ke 180 setelah pengobatan, berarti ada infeksi beru ( reinfeksi ) pada penderita tersebut,
2. Follow up penderita / tersangka sistiserkosis Follow up dilakukan 3 bulan kemudian terdapat kista dan sebagainya
3. Follow up penderita neurosistiserkosis
Kriteria keberhasilan neurosistiserkosis
Ø      Frekuensi serangan ( attak rate ) makin berkurang.
Ø      Selama 2 tahun berutut-turut tidak ada serangan epilepsi, pengobatan untuk epilepsi diteruskan 6 bulan lagi yang diturunkan secara bertahap untuk kemudian dihentikan sama sekali Anonimus (2009).
.
 PEMBAHASAN

            Taeniasis adalah infeksi oleh cacing pita genus Taenia di dalam usus. Ada tiga spesies penting cacing pita Taenia, yaitu Taenia solium, Taenia saginata, dan Taenia asiatica. Ketiga spesies Taenia ini dianggap penting karena dapat menyebabkan penyakit pada manusia (zoonosis), yang dikenal dengan istilah taeniasis dan sistiserkosis. Adapun perbedaan antara spesies cacing pita Taenia dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 2. Perbedaan antara Taenia solium, Taenia saginata dan Taenia asiatica
No.
Keterangan
Taenia solium
Taenia saginata
Taenia asiatica
1
Inang definitif dan habitat
Usus halus manusia
Usus halus manusia
2
Inang antara
Sapi (utama), kambing, domba
Babi (utama), sapi
3
Nama tahap larva
Cysticercus cellulosae
Cysticercus bovis
Cysticercus t.s. taiwanensis
4
Ukuran panjang x lebar
(3-8)x 0,01 meter
(4-15) x 0,01 meter
4-8 meter
5
Jumlah segmen
700-1000
1000-2000
712
6
Jumlah telur
30.000-50.000 di setiap segmen
lebih dari 100.000 di setiap segmen

            Taeniasis adalah penyakit akibat parasit berupa cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia yang dapat menular dari hewan ke manusia, maupun sebaliknya. Taeniasis pada manusia disebabkan oleh spesies Taenia solium, Taenia asiatica  atau dikenal dengan cacing pita babi dan Taenia saginata yang dikenal juga sebagai cacing pita sapi.  Anonimus, (2010).
            Dari ketiga spesies cacing Taenia  (Taenia solium, Taenia asiatica dan  Taenia saginata) memiliki habitat yang sama, yaitu berada pada usus halus manusia dan manusia juga merupakan induk semang definitive, akan tetapi induk semang antara dari Taenia solium adalah babi dan manusia, sedangkan Taenia asiatica induk semang antaranya adalah babi (utama) dan sapi, sedangkan Taenia saginata induk semang antaranya Sapi (utama), kambing, domba., selain itu jika dilihat dari stuktur anatomi, jumlah telur dan segmen Taenia solium dan Taenia asiatica lebih kecil daripada Taenia saginata begitu juga jumlah segmen dan jumlah telur setiap segmen lebih banyak pada cacing Taenia saginata. Menurut Perbedaan Taenia solium hanya terletak pada alat pengisap dan inang perantaranya. Taenia saginata pada skoleksnya terdapat alat pengisap tanpa kait dan inang perantaranya adalah sapi, sedangkan Taenia solium memiliki alat pengisap dengan kait pada skoleksnya dan inang perantaranya adalah babi.
            Kejadian dan penyakit pada hewan Babi cacing dewasa ada dibagian proximal jejenum, sedangkan cysticercosis sellulosae bertempat di otot lidah, M.Masseter mucosa, diafragma, jantung, hati, ginjal, pulmo, otak, mata. Sapi, infestasi cacing Taenia bersifat sporadik. Cysticercosis bovis berada terutama di m. Maseter (Yudhie, 2009). Menurut Admin, (2008).  Gejala klinis dari penyakit Taeniasis jika muncul sangat bervariasi seperti, gangguan syaraf, insomnia, anorexia, berat badan yang menurun, sakit perut dan atau gangguan pada pencernaan. Terkecuali merasa terganggu dengan adanya segmen cacing yang muncul dari anus, kebanyakan penyakit ini tidak menunjukkan gejala. Taenasis biasanya tidak fatal, akan tetapi pada stadium larva cacing Taenia solium mungkin menyebabkan sistiserkosis yang fatal. 
            Sistiserkosis pada manusia adalah infeksi jaringan oleh bentuk larva Taenia (sistiserkus) akibat termakan telur cacing Taenia solium (cacing pita babi). Cacing pita babi dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, lain halnya cacing pita sapi tidak dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, sedangkan Taenia asiatica dalam menyebabkan sistiserkosis belum diketahui secara pasti. Akan tetapi ada dugaan bahwa Taenia asiatica merupakan penyebab sistiserkosis di Asia Anonimus, (2010). Menurut Admin, (2009).
            Manusia terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau babi yang setengah matang yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia. Dalam hal ini juga dapat terjadi melalui proses infeksi sendiri oleh individu penderita melalui pengeluaran dan penelanan kembali makanan. Sesui dengan pernyataan Roday, S. (1999) bahwa penyakit hewan dapat ditularkan melalui produk hewan ke manusia atau dikenal sebagai foodborne zoonotic disease atau foodborne zoonosis (jamak=zoonoses). Foodborne zoonotic disease didefinisikan sebagai infeksi pada manusia yang ditularkan melalui pangan yang sumbernya dari hewan yang terinfeksi. Beberapa penyakit ini sudah dikenal lama seperti antraks yang ditularkan melalui daging sapi, kambing, domba, kerbau; sistiserkosis/taeniasis yang ditularkan melalui daging babi.
            Bahan pangan sangat diperlukan oleh manusia untuk mempertahankan kehidupannya, sehingga pengadaan pangan merupakan faktor yang penting diperhatikan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sehat. Pengadaan bahan pangan tidak saja harus mencukupi jumlahnya, tetapi juga harus mempunyai nilai gizi yang tinggi, bersih serta bebas dari komponen- komponen atau mikroba yang dapat menyebabkan keracunan dan penyakit (Srikandi, 1983). Menurut Roday, S. (1999) Pemasaran bahan pangan hasil ternak harus lolos persyaratan dan pengujian dari lembaga yang berwenang, memenuhi syarat-syarat higiene dan memberikan ketenangan bagi konsumen. Sebagai contoh daging dari ternak yang terkena penyakit zoonosis yang berbahaya seperti antrax, harus diafkir seluruhnya, sedangkan beberapa penyakit zoonosis lainnya kemungkinan dapat diizinkan untuk dikonsumsi setelah bagian yang terserang diafkir atau mendapat perlakuan khusus, demikian pula untuk susu dari sapi yang terserang mastitis dan tuberkulosis, dan daging dari unggas yang menderita penyakit salmonellosis dan avian tuberculosis, sehingga bahan pangan hasil ternak sebenarnya aman dari zoonosis
            Mengingingat tingkat prevalensi Taeniasis/Sistiserkosis relatif tinggi dengan tingkat patogenitas yang berbahaya dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada manusia maupun hewan, maka Kesmavet menurut Undang Undang no 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Tugas dan fungsi Kesmavet secara garis besar adalah menjamin keamanan dan kualitas produk-produk peternakan, serta mencegah terjadinya risiko bahaya akibat penyakit hewan/zoonosis dalam rangka menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Soejoedono, 2004). Pendapat serupa juga dipaparkan Roday, S. (1999) oleh pengendalian zoonosis harus dimulai dari hulu yang meliputi a) penyediaan bibit dan management pemeliharaan ( sanitasi kandang, prkerja, pemberian pakan dan obatobatan), b) proses pemotongan (sanitasi rumah potong, pekerja, cara pemotongan, penggunaan peralatan, pemeriksaan antemortem dan postmortem). Sektor hilir yang meliputi : a) Transportasi, penyimpanan dan cara penjajaan di pasar yang higiene, b) pemasakkan yang dapat membunuh agen penyebab zoonosis.
            DAFTAR KEPUSTAKAAN


Anonim. 8 Juli 2002. Bali endemik infeksi cacing pita.

Anonim. 7 Agustus 2002. Cacing pita, ancaman bagi penggemar Lawar. dr Molin :            Otak    saya berisi kista.
             http://www.denpasarpost.tv/2002/07/08/kesehatan.html

Anonimus, 2009 Petunjuk pemberantasan Taeniasis/sistiserkosis di Indonesia             http://www.pdfdownloadforfree.com/petunjuk-pemberantasan-taeniasis     /sistiserkosis-di-indonesia.html

Admin, 2008.  Peternakan Taeniasis Pada Babi. 

Anonimus, 2010. Manual Pemberantasan Penyakit Menular
           
Anonimus, 2010. cacing pita
            http://id.wikipedia.org/wiki/Taenia_%28cacing_pita%29


Craig, P.S., M.T.Rogan, J.C. Allan. 1996. Detection, screening and community      epidemologi    of taeniid cestode zoonoses : Cystic echinococcosis, alveolar     echinococosis and       neurocysticercosis. Adv. Parasitology. (38) 11

Dharmawan NS. 1990. Tingkat kejadian sistiserkosis menurut metode pemeriksaan            kesehatan babi di             Rumah Potong Hewan Denpasar [tesis]. Bogor:        Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian        Bogor.

Dharmawan, N.S. 1995. Pelacakan Terhadap Kehadiran Taenia saginata taiwanensis         di Bali Melalui Kajian Parasitologi dan Serologi (desertasi). Program           PascaSarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dharmawan, N.S. 2003. Taeniasis/Sistiserkosis Di Indonesia

Depkes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Profil Kesehatan      Indonesia Tahun 2005. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Deptan RI Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2007. Pegangan Pemeriksa Daging Swasta. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia.

Taenia solium taeniasis/cysticercosis
Elok budi retnani, 2004. Taeniasis dan Cysticercosis : penyakit zoonosis yang kurang        dikenal oleh masyarakat di indonesia.

Elfriza Rizki Kartika, Fiqih Nurkholis, Hoirul Mustakim, Asrarahama A.P, 2008.

Fan,P.C., C.Y.Lin, M.L.Kosman & E.Kosin. 1989. Experimental infection of         Indonesia        Taenia (Samosir Strain) in domestic animals. Int. J.      Parasitology 19(7):809-812.

Noble, E.R. & G.A. Noble. 1982. Parasitology:The biology of animal parasites. Fifth        ed.       Lea      & Febiger. Philadelphia. 521 pp. Pawlowski, Z. & M.G.             Schultz. 1972.             Taeniasis and   cysticercosis (Taenia saginata). Adv.            Parasitology 10:269-343.

Pawlowski, Z. & M.G. Schultz. 1972. Taeniasis and cysticercosis (Taeniasaginata).           Adv.     Parasitology 10:269-343.

Roday, S. 1999. Food Hygiene and Sanitation, Tata Mc. Graw-Hill Pub. Co. Lmtd.,         New Delhi

Raether, W. & H. Hanel. 2003. Epidemiology, clinical manifestations and diagnosis          of         zoonotic cestode infections : an update. Parasitology Research            5(91):412-438             Simanjuntak, G.M.,S.S. Margono, M. Okamoto, A.   Ito.1997. Taeniasis /    Cysticercosis 12 in Indonesia as an emerging discase.           Parasitology Today 13 :       321-     323. Simanjuntak, G.M. 2000. Studi taeniasis / cysticercosis di Kabupaten Jayawijaya             Provinsi Irian Jaya.      http://www.digilib.litbang.depkes.go.id

Rizal subahar, abdulbar hamid, wilfried purba, widarso, akira ito dan sri s margono,           2005. Taeniasis/Sistiserkosis di antara anggota keluarga di beberapa desa,             kabupaten jayawijaya, papua,
Rotinsulu DA. 2008. Strategi Global Kesehatan Masyarakat Veteriner dalam         Pengendalian Taeniasis/Sistiserkosis sebagai Re-emerging Foodborne        Zoonoses         Daerah Tropis. Karya Tulis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.        Halaman 22

Smith, S. 2004. Taeniasis. Mailto : ssmith @ Stanford. edu ? Subjet : Taeniasis       webpage, 2004 enguiry http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Taeniasis,htm

Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals.        7 th ed. BailliereTindall. London. 809 pp.

Srikandi Fardiaz. 1983. Keamanan Pangan Jilid 1. Jurusan Ilmu dan Teknologi       Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Simanjuntak, G.M. 2000. Studi taeniasis / cysticercosis di Kabupaten Jayawijaya   Provinsi Irian Jaya. http://www.digilib.litbang.depkes.go.id

Soejoedono RR. 2004. Zoonosis. Laboratorium Kesmavet Departemen Ilmu Penyakit        Hewan dan      Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan. Bogor: Institut            Pertanian         Bogor (tidak diterbitkan).

Urquhart, G.M., J. Armour, J.L. Duncan, A.M. Dunn & F.W. Jennings.      1987.Veterinary          Parasitology. Longman Sci. & Technical. England. 286      pp. Wandra, T, A. Ito, H.       Yamasaki, T. Suroso, S.S. Margono. 2003.   Taenia soliumcysticercosis, Irian        Jaya,    Indonesia. Emerg infect Dis (             Serial online ).URL :             http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol 19 no7/02-       0709.htm.

Ito et al. 2002. Dogs as alternative intermediate hosts of Taenia solium in Papua    (Irian   Jaya).   Indonesia confirmed by highly specific ELISA and       immunoblot using       native and       recombinant antigens and mitochondrial DNA analysis. J.Helminthology 77:39-42.

Wandra, T, A. Ito, H. Yamasaki, T. Suroso, S.S. Margono. 2003. Taenia solium     cysticercosis,   Irian Jaya, Indonesia. Emerg infect Dis ( Serial online ). URL : http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol 19 no7/02-0709.htm.

Yudhie, 2009. Taeniasis Dan Cysticercosis